BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Media memiliki fungsi untuk memberikan
informasi atau pesan kepada khalayak. Saat ini berbagai macam tayangan
disajikan dalam media baik cetak dan elektronik, dan keragaman ayangan tersebut
mengharuskan khalayak untuk pandai – pandai menyaring pesan yang disampaikan.
Salah satunya adalah film yang merupakan alat komunikasi massa, dimana film
selaku memiliki nilai-nilai atau pesan yang terkandung didalamnya seperti
informasi, pendidikan, pengekspresian seni, juga menggambarkan watak, dan
budaya bangsa, tetapi ada juga film yang menetapkan nilai-nilai yang perlu
dianut oleh masyarakat dan nilai yang merusak (Mulyana, 2008:89)
Perkembangan film saat ini sangat pesat,
dan mudah menjadi bisnis yang menguntungkan. Bagaimanakah melihat perfilman
dalam konteks (kebijakan) Negara berdasarkan fungsi film. Film dipandang
sebagai komoditas industri oleh Hollywood, Bollywood, dan Hongkong. Disisi
dunia lain, film dipakai sebagai media penyampai dan produk kebudayaan. Hal ini
bisa dilihat dinegara Prancis (sebelum 1995), Belanda, Jerman, dan Inggris.
Dampak dari pembagian ini, film akan dilihat sebagai artefak budaya yang harus
dikembangkan, kajian film membesar, eksperimen-eksperimen pun didukung oleh
Negara. Kelompok terakhir menempatkan
film sebagai asset politik guna media propaganda Negara. Hal ini sering
dijumpai di negara-negara otorier, seperti Rusia, Cina, Indonesia, Afganistan,
dll. Film berada di bawah pengawasan departemen penerangan dan konsep sensor
film berkembang disini. Obrolan ini berlanjut pada fungsi sensor film dalam
sebuah negara yang tidak selalu difungsikan dengan baik, atau adanya perlakuan
yang berlebihan terhadap sebuah karya yang elah dihasilkan. Bagi Turner, film
bukan hanya sekedar memindahkan realitas yang dapa membentuk dan menghadirkan
kembali realias berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi, dan ideology
kebudayaanya. Sehubungan dengan pendapat Turner tersebut, film ternyata mampu
menjadi arsip sosial yan menangkap jiwa masyarakat pada saat itu. Sigfied Kracauer,
seorang pakar film menyatakan, umumnya dapat dilihat bahwa teknik, isi cerita
dan perkembangan film suatu bangsa hanya dapat dipahami secara utuh dalam
hubunganya dengan pola psikologis actual bangsa itu (Muhtadi, 2009:93).
Perkembangan Film yang paling penting
adalah bagaimana film bisa dijadikan alat atau media informasi, pendidikan
untuk banyak manfaat bagi masyarakat. Film merupakan fenomena komunikasi yang
syarat akan tanda, film dapat mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan
muatan pesan. Oleh karena itu film sangat relevan dengan penelitian yang
menggunakan analisis isi. Seperti pada film “Romeo Juliet”.
Disutradaai oleh Andi Bachtiar Yusuf,
film ini diputar perdana pada tanggal 18 april 2009. Kisah dari film ini terinspirasi
drama karya William Shakespeare, Andi mengangkat fenomena tawuran itu dalam
hubungan percintaan terlarang Romeo dan Juliet. Romeo adalah seorang fan
Persija, The Jak, dan Juliet, gadis Bandung, adik dari dedengkot Viking Persib
Bandung.
Pertemuan ”Romeo” bernama Rangga dan
Desi ”Juliet” dimulai seusai pertandingan antara Persija dan Persib di Stadion
Lebak Bulus, Jakarta. Bus yang ditumpangi Viking diserang The Jak. Saling pukul
terjadi, disertai umpatan seperti ”anjing” dan ”monyet”. Dan rupanya ada gadis
cantik berkaus biru—The Lady Vikers—di dalam bus.
Penasaran, Rangga mencari info tentang
gadis berkulit putih dan berambut panjang itu, lewat internet dan tabloid
internal sepak bola. Gotcha! Ia sengaja ke Bandung. Tapi, dasar film, suatu
kebetulan diciptakan. Dua remaja itu bertemu, lagi-lagi lewat tatapan mata di
kaca sebuah outlet kaus. Dan terjadilah adegan mesra di ruang ganti, nyaris
berciuman.
Mereka akhirnya berpacaran, meski tahu itu
terlarang. Saudara lakilaki Desi bernama Parman, yang menjadi dedengkot Viking
(diperankan Alex Komang), sangat menentang. Begitu pula anggota The Jak dan
Viking. Semua itu tak lain karena fanatisme sepak bola, mirip perseteruan abadi
klan Montague dan klan Capulet di Verona, Italia, dalam naskah asli
Shakespeare.
Telanjur cinta tumbuh, di tangga kampus
pinggiran Kota Kembang, Rangga mengajak Desi menikah. ”Kamu cinta aku?” tanya
Rangga. Dibalas lembut, ”Seperti obat dengan penyakit. Seperti burung dengan
nyanyiannya.” Rangga lalu berkata, ”Walau aku Jak Anjing, menikahlah dengan
aku. Aku cinta Viking yang anjing. Aku tidak butuh persetujuan siapa pun. Aku
hanya butuh kamu. Ini cincin pernikahan ibuku, mudah-mudahan muat. Ntar malam
aku ke rumah, untuk melamar kamu.” Dan teringatlah kita akan dialog dalam film
Ada Apa dengan Cinta? garapan Rudi Soedjarwo.
Ketika bus melaju kencang menghindari kejaran
Jakmania, mata Rangga (Edo Borne) dan Desi (Sissy Prescillia) berpandangan.
Desi dari balik kaca belakang bus, sedangkan Rangga, yang berpenampilan kumal
dengan kaus oranye, menatap di balik kaca depan mobil, milik temannya.
Kawin lari pun menyakralkan ikatan
Rangga dan Desi dalam film produksi Bogalakon Pictures yang sudah diputar di
Hong Kong International Film Festival ini. Settingnya sederhana sekaligus
sedikit menggelikan. Namun justru ikatan sejati mereka berdua seolah noda bagi
kedua kubu. Rangga lari ke Malang, dan Desi kembali ke Bandung. Seperti tak
terjadi apa-apa.
Perkelahian terus muncul antara kedua kubu
suporter. Adegan berdarah-darah, saling pukul, makian dan dialog kasar, bahkan
menjatuhkan korban jiwa, tetap tak terelakkan—meski sudah ada yang dipangkas.
Kita bisa saja risi dengan itu. Tapi Andi menyebut hal itu sebagai ”realita
persepakbolaan di Indonesia”.
Menurut Andi, plot perkelahian dan perkimpoian
itulah yang sejalan dengan Shakespeare. ”Bedanya, adegan balkon Shakespeare
diganti adegan bercinta di stadion,” kata peraih penghargaan film dokumenter
terbaik di Festival Film Indonesia 2008 melalui film The Conductors ini (Dari
Majalah TEMPO Edisi 10/XXXVIII 27 April 2009, diakses tanggal 23 September 2011
pukul 18.00 WIB). Film yang dikategorikan film dewasa ini menyajikan banyak
adegan perkelahian missal antara kedua kelompok suporter. Kata-kata umpatan
sering sekali diucapkan dalam film ini sehingga secara keseluruhan khalayak
bisa mengambil makna dari pesan yang disampaikan yaitu cinta kepada pasangan dapa berjalan dengan
kecintaan kepada klub favorit dan seharusnya menghindari fanatisme yang
berlebihan. Namun fanatisme yang berlebihan menimbulkan sebuah balas dendam
yang tidak tahu kapan akan berakhirnya perseteruan diantara supporter tersebut.
Fanatisme adalah sebuah pandangan atau
faham yang dipegang oleh sesuatu kelompok yang membela tentang sesuatu yang
tidak bisa diganggu gugat akan keyakinannya seperti yang dikuip dalam blog
Prof. Dr. Achmad Mubarok MA, guru besar psikologi Universitas Indonesia
mengenai fanatisme ( http://mubarok-institute.blogspot.com/2006/08/psikologi-fanatik.html
).
Seseorang yang fanatik biasanya
tidak mampu memahami apa-apa yang ada diluar dirinya, tidak paham masalah
kelompok lain, tidak mengerti paham selain yang mereka yakini. Tanda-tanda yang
jelas dari sifat fanatic adalah ketidakmampuan memahami pemahaman individual
orang lain yang berada diluar kelompoknya. Juga dapat diartikan dengan perasaan
cinta terhadap diri sendiri yang berlebihan yang bermula dari mengagumi diri
sendiri, kemudian terlalu membanggakan kelebihan yang ada dalam dirinya atau kelompoknya
dan selanjutnya dapat berkembang menjadi rasa tidak suka kemuadian menjadi
benci kepada orang atau kelompok yang berbeda dengan kelompoknya.
Secara psikologis, fanatik adalah
ketidak mampuan memahami apa-apa yang berada diluar dirinya, tidak memahami
masalah orang lain atau kelompok lain. Sebagai ahli ilmu sakit jiwa mengatakan
bahwa fanatik adalah sifat natural yang timbul berawal dari perasaan cinta pada
diri sendiri yang berlebihan, kemudian menjadi cinta bua terhadap apa yang
disukai dan antipasti terhadap apa yang disukai. Namun ada juga yang berpendapa
bahwa fanatisme bukan terjadi secara natural akan tetapi dapat direkayasa (http://mubarok-istitute.blogspot.com/2006/08/psikologi-fanatik.html).
Secara garis besar fanatisme
mengambil bentuk seperti fanatisme terhadap warna kulit tertentu, etnik, atau
kesukuan tertentu, dan kelas sosial atau kelompok tertentu. Dalam filem Romeo
Juliet, fanatisme terhadap kelompok tertentu ditunjukkan oleh The Jakmania yang
merupakan supporter dari Persija Jakarta yang mengalami konflik dengan sesame
supporter, yaitu Viking/Bobotoh yang merupakan suporer dari Persib Bandung.
Suporter tidak hanya bermusuhan dalam pertandingan juga dalam kehidupan
sehari-hari seperti saling menghina lewat ucapan, tulisan bahkan sampai
perkelahian denga suporer saingannya. Jika dilihat dengan seksama para
supporter bukan menjadi supporter dalam arti sebenarnya bisa jadi justru
merugikan klub yang dibanggakan.
Menurut Suryanto dalam blognya
mengenai supporter ( http://suryanto.blog.unair.ac.id/
), menurut akar katanya, kata “suporter” berasal dari kata kerja dalam bahasa
inggris to support, dan akhiran – er.
To support artinya mendukung,
sedangkan akhiran – er menunjukkan pelaku. Jadi suporer dapat diartikan sebagai
orang yang memberikan support atau
dukungan. Suporter dalam sepak bola berbeda dengan supporter lainnya. Di
lingkungan sepak bola, suporer erat kaitanya dengan dukungan yang dilandasi
oleh perasaan cinta dan fanatisme terhadap tim yang didukungannya. Perbedaan
terletak pada keakraktifannya saat mendukung tim kebanggan mereka. Suporter
juga dikenal memiliki fanatisme yang tinggi bahkan cenderung suka melampaui
batas. Seharusnya supporter memberikan hal-hal yang positif bukan negative,
memberikan spirit bagi klub kesayangannya, membangunkan ketika klub kesayangan
tertidur sehingga tidak ada prestasi yang diraihnya. Suporter yang cerdas tidak
anarkis. Suporter yang cerdas adalah supporter
yang paham dan mengerti bagaimana menyalurkan fanatisme dan militansi yang
mereka miliki. Mereka juga mengerti akan semangad olahraga. Kompetisi dibangun
bukan untuk menyuburkan permusuhan akan tetapi kompetisi diadakan adalah untuk
mencari yang terbaik dari yang baik (http://suporter.info/menjadi-suporter-yang-bertanggungjawab/
).
Didasari
oleh identitas sepakbola Indonesia yang
ditunjukkan dalam Romeo Juliet adalah fanatisme yang kental dengan
kekerasan. Selalu identik dengan kerusuhan penonton, membuat peneliti ingin
mengetahui representasi fanatisme supporter klub sepak bola dalam film Romeo Juliet melalui metode analisis isi kualitatif.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah bagaimana representasi fanatisme supporter sepak bola
dalam film Romeo Juliet ?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun
tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini untuk mengetahui dan
menganalisis representas fanatisme supporter sepak bola dalam film Romeo Juliet.
1.4
Manfaat
Penelitian
Penelitian
ini memiliki beberapa manfaat, yaitu:
1. Manfaat
Akademis, dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan mengenai kajian analisis
isi pada film tentang fanatisme supporter sepak bola dan dapat dijadikan bahan
untuk penelitian lebih lanjut tentang fabatisme supporter dalam film.
2. Manfaat
Sosial, yaitu memberikan sumbangan kepada masyarakat dalam bentuk tulisan
ilmiah, yang dapat dikembangkan lebih baik lagi. Selain itu juga memberikan
wawasan kepada para pembaca terhadap baik atau buruknya fanatisme terhadap klub
sepak bola maupun pada hal yang lain. Penelitian ini diharapkan dapat merubah
sikap dan tingkah laku yang merugikan dari para supporter sepak bola.
3.
Manfaat Praktis, untuk produser Romeo Juliet, dapat membuat film yang menggambarkan sosok supporter
yang sesuai dengan peran aslinya. Untuk Masyarakat dan supporter sepakbola,
dapat menjadi supporter yang sportif saat mendukung klub kesayangannya dan menghilangkan perbuatan – perbuatan yang
anarkis.